Diceritakan
suatu hari Rasulullah saw, bersama Abu Bakar, Umar dan Utsman bertamu ke rumah
sahabat Ali. Setibanya di rumah, Fathimah istri Ali yang juga putri Rasulullah
saw menghidangkan madu dalam sebuah mangkuk yang cantik. Namun dalam semangkuk
madu yang dihidangkan itu terdapat sehelai rambut tercelup di dalamnya.
Kemudian, Rasulullah saw meminta sahabat-sahabatnya untuk membuat suatu
perbandingan terhadap ketiga benda tersebut (Mangkuk yang cantik, madu, dan
sehelai rambut).
Nabi berkata
“Ayo Abu Bakar coba terangkan menurut kamu apa perbandingan antara ketiganya”
Kemudian Abubakar r.a. menjawab, “iman itu lebih cantik dari mangkuk yang
cantik ini, orang yang beriman itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan
iman itu lebih susah dari meniti sehelai rambut”.
Setelah itu
giliran Umar r.a yang berpendapat, menurutnya “kerajaan itu lebih cantik dari
mangkuk yang cantik ini, seorang raja itu lebih manis dari madu, dan memerintah
dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut”. Sungguh seorang
negarawan sejati yang berkarakter. Kaidah kenagaraannya harusnya dianut dan
dijadikan pedoman bagi para pemimpin.
Sebagai
seorang yang bijaksana dan berilmu sahabat Utsman r.a. berkomentar “ilmu itu
lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang menuntut ilmu itu lebih
manis dari madu, dan ber’amal dengan ilmu yang dimiliki itu lebih sulit dari
meniti sehelai rambut”.
Sedangkan
sahabat Ali selaku tuan rumah berkata, “tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang
cantik ini, menjamu tamu itu lebih manis dari madu, dan membuat tamu senang
sampai kembali pulang ke rumanya adalah lebih sulit dari meniti sehelai
rambut”.
Sayidah Fatimah sebagai perwakilan perempuan
mengibaratkan ketiganya dalam kerangka kewanitaan menurutnya “seorang wanita
itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, wanita yang berburqo itu
lebih manis dari madu, dan mendapatkan seorang wanita yangtak pernah dilihat
orang lain kecuali muhrimnya lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.
Setelah para
sahabat mengemukakan pendapat mereka Rasulullah saw kemudia berkata, “seorang
yang mendapat taufiq untuk ber’amal adalah lebih cantik dari mangkuk yang
cantik ini, ber’amal dengan ‘amal yang baik itu lebih manis dari madu, dan
berbuat ‘amal dengan ikhlas adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.
Seolah
merangkum dari berbagai pendapat para sahabat itu Rasulullah saw menegaskan
bahwa inti kehidupan dan amal ibadah seseorang ada dalam keikhlasan. Dan
kemampuan seseorang beramal (beribadah) tidak lain merupakan taufiq dari-Nya.
Ternyata,
Malaikat Jibril as juga turut urun rembug ia men-tamsilkan ketiganya bahwa
“menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik,
menyerahkan diri; harta; dan waktu untuk agama lebih manis dari madu, dan usaha
mempertahankan agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai
rambut”. Inilah kata Malaikat yang telah berpengalaman menyertai para Rasul dan
Nabi sepanjang zaman.
Dari cerita di atas kita seharusnya mampu mengambil
pelajaran guna melangkahkan kaki selanjutnya bagaimanakah seharusnya menghadapi
hidup ini. Dunia seisinya dengan segala dinamikanya bukan untuk kita hindari.
Sebagai pribadi yang beriman dunia merupakan mazroatul akhirat. Tempat dimana
kita menanam sebanyak-banyaknya kebaikan. Toh kebaikan atau keburakan yang kita
perbuat akan kembali kepada diri kita sendiri. In ahsantum ahsantum lianfusikum
wa in asatum falahaa (QS. 17: 7).
Dan Allah swt
berfirman, ” Sorga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu, nikmat
sorga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju sorga-Ku adalah lebih
sulit dari meniti sehelai rambut”. (Agus Munif/Red)