Pada tanggal 22 oktober 1945, delapan Minggu setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, terjadi peperangan di Surabaya. Untuk memobilisir
dukungan umat Islam, Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa untuk mempertahankan
Kemerdekaan Republik Indonesia. Mengenai fatwa tersebut sebagai berikut:[1]
a. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
wajib dipertahankan.
b. Republik Indonesia, sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus
dipertahankan dengan harta dan jiwa
c. Musuh-musuh Indonesia khususnya orang-orang Belanda yang kembali ke
Indonesia dengan menumpang pasukan
sekutu sangat mungkin ingin menjajah kembali bangsa Indonesia
d. Umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan
Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah kembali bangsa Indonesia.
e. Kewajiban jihat merupakan keharusan bagi setiap orang Islam yang
tinggal dalam radius 94 kilometer. Adapun mereka yang tinggal diluar radius
harus membantu secara material terhadap mereka yang berjuang.
Fatwa Hasyim Asy’ari ini diyakini
telah mengilhami para santri dalam meningkatkan perlawanan mereka terhadap kaum
kolonialisme, setelah pasukan sekutu berhasil memaksa Jepang keluar dari Jawa
pada tahun 1945, ketika Belanda hampir menguasai kembali sebagian besar kota Surabaya,
kota terpenting di Jawa Timur yang selanjutnya dikenal dengan “kota pahlawan”
dikarenakan perlawanan Hasyim Asy’ari beserta santri-santrinya.[2]Aksi
non-cooperative Hasyim ini bisa
terlihat di awal ketika Beliau melarang masyarakat untuk Seikeirei.[3]
Fatwa tersebut juga dikuatkan
dengan karisma Hasyim Asy’ari dan perlunya berperang melawan orang-orang kafir.
Jadi perang kemerdekaan dipandang sebagai perang suci di jalan Allah (Jihat Fi Sabilillah).[4]
Jadi, sampai saat ini perang ini masih dipandang sebagai perang terbesar dalam
sejarah Indonesia modern sehingga 10 november diperingati sebagai hari
Pahlawan.
Dari fenomena di atas, bahwa Hasyim Asy’ari dalam
rangka meraih kemerdekaan, beliau bekerja sama dengan kalangan pemimpin
nasionalis sekuler, misalnya Bung Tomo, Figur utama sosialis dari Barisan
Pemberontak Republik Indonesia yang berhasil membangun solidaritas nasional
melalui siaran radio. Hal ini juga kalangan nasionalis sekuler mau juga bekerja
sama dengan para ulama untuk kepentingan bersama.[5]
(Sarwo)
[1] Slamet Efendi Yusuf dkk, Dinamika Kaum Santri, (Jakarta:
Rajawali Press, 1983), hlm 38
[2] Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren....,op. cit, hlm.229
[3] Seikeirei
adalah sikap hormat terhadap Kaisar Jepang dengan cara menundukkan badan
(Tenno Heika) yang dipercayai oleh masyarakat Jepang sebagai keturunan dari
Dewa Matahari
[4] Jihad dalam arti luas adalah segala
usaha yang sungguh-sungguh dalam berbagai hal yang positif, tetapi, kata ini
lebih banyak berkonotasi perang membela agama
[5] Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama’..., op.
cit, hlm. 112